Bau yang khas, kasur putih, selimut putih, tirai putih, tembok yang bercat putih, dan lainnya yang serba berwarna putih. Inilah tempatku tinggal atau tepatnya rumah sakit yang setiap hari aku tempati sejak penyakit ini datang ke tubuhku, tempatku menunda lembaran hidupku yang semakin menipis. Hanya tidur malas dan tidak melakukan apa-apa.
“Uhuk.. uhuk..”
Penyakit ini terus saja meraung-raung untuk segera memakan rohku
yang sudah melayang-layang di udara.
“Uhuk.. uhuk..”
Sakit, rasanya dada ini sakit bila sesuatu yang ada dalam tubuh
rapuh ini terus memberontak. Sakit sekali.
“Uhuk.. uhuk.. “ darah kental berwarna merah keluar dari mulut
pucat ini. Rasanya ingin sekali mengakhiri hidup ini secepat mungkin, agar raga
ini tak terus menderita. Agar jiwaku terbang bebas sesuka hati. Melihat luasnya
dunia yang telah lama ku tinggalkan.
Tapi, masih ada 'dia'. 'Dia' yang selalu tersenyum untukku. 'Dia'
yang selalu temani hari-hari semuku. 'Dia' yang selalu menyemangatiku untuk
terus hidup menghadapi derita ini dengan lebih berwarna.
SRAAKK!!
“Pagi~ aku bawa sesuatu untukmu, Pasti kamu suka!” Pintu kamarku
dibanting dengan ganas oleh ‘dia’, namanya Shania Junianatha. Perempuan yang
aku sayangi sekaligus aku cintai.
“Apaan tuh, shan?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Entah kenapa,
bila bersama dengan dia rasanya aku selalu bahagia. Inilah kenapa aku ingin
terus bertahan hidup.
“Tada~” dia memperlihatkan sesuatu kepadaku.
“Ini dia~ Ada tomat dan jus tomat tanpa gula kesukaanmu.” aku
tersenyum melihat tingkahnya, padahal umurnya sudah 17 tahun, tapi sifat dan
tingkah lakunya masih seperti anak kecil.
“Ah, terima kasih shan.” Kulihat dia mengambil tomat dan membuka
tutup jus tomat yang dibawanya.
“Mau yang mana dulu? Tomat atau jus tomat?” Tanyanya dengan wajah
polos, lucu rasanya kalau melihatnya memasang ekspresi seperti itu. Tapi, bukan
tomat yang aku inginkan darimu tapi aku ingin terus melihat senyum manismu
diwaktuku yang sudah tidak lama lagi ini, hanya itu Shan, pikirku dalam hati.
“Terserah kau saja.” Aku kembali tersenyum kapadanya. Aku rela
memberi senyum ini terus untuknya, asal dia mau tersenyum padaku juga.
“Kalau begitu jus tomat ya? ya?” Diapun menaruh kembali tomat ke
dalam plastik.
“Ayo buka mulutnya, aaa~~” Dia mencoba meyuapiku.
“Aku bisa minum sandiri.” Aku langsung merebut jus tomat darinya
dan mencubit pipinya gemas.
“Aw sakit!” Dia balas mencubit pipiku. Aku sangat bahagia kalau dia sudah di sisiku, bercanda bersama,
bersedih bersama, membagi keluh kesah bersama walau lebih banyak dia yang
berbicara sedangkan aku hanya menjadi pendengar.
Ah! Aku memegang dadaku, mencoba untuk menahan sakit, dadaku
kembali berdenyut kencang, sakit sekali. Tolong, kumohon tubuhku bertahanlah
dulu, aku masih ingin bercanda dengannya.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” Lagi, mulutku mengeluarkan darah dan kali
ini lebih banyak dari yang sebelumnya.
“Ah, kau mengeluarkan darah lagi!! Aku panggilkan dokter dulu.” Dia
beteriak panik dan langsung pergi ke luar untuk memanggil dokter. Jangan,
jangan pergi Shan, tetaplah disini kumohon.
Shania sudah lari keluar, aku tidak bisa menghadangnya. Aku tidak
bisa mengeluarkan suara. Dada ini terasa sangat sakit. Pandanganku mengabur,
dan semua menjadi gelap.
***
“Dokter, bagaimana dengan keadaannya?” Samar-samar aku mendengar suara dari luar
tempatku berbaring lemah. Itu suara Shania.
“Maaf , kami sudah melakukan sebisa kami tapi, pasien hanya
tinggal menunggu waktu saja.” Aku bisa mendengar perkataan dokter itu walaupun
samar-samar.
“Ti-tidak mungkin kan dok?! Itu pasti bohong?!” Teriak shania yang kaget mendengar perkataan
dokter.
“Maaf, saya benar-benar minta maaf.” Bisa kudengar isakan tangis
shania, shan kumohon jangan menangisiku.
Tinggal menunggu waktu saja ya? akupun memejamkan mataku dan
berdoa semoga saja aku masih bisa melihat senyum shania besok dan seterusnya.
***
Sraakk!
Suara pintu yang terbuka. Namun hari ini
tidak seheboh yang kemarin.
“Pagi~ bagaimana keadaanmu?” sapanya riang. Tapi aku tahu itu cuma
topeng dibalik wajah sedihnya.
“Maaf ya aku tidak membawakan apa-apa, tadi aku buru-buru kesini
jadi tidak sempat mampir membeli sesuatu hehe.”
Dia tersenyum, tapi aku bisa merasakan senyum itu berbeda dari senyumnya
yang lain. Senyum itu seperti senyum yang dipaksakan. Shania pun duduk tepat di
sebelahku sambil menggenggam erat tanganku.
“Pagi. Sudah agak mendingan kok.” aku mencoba tersenyum. Tapi,
senyum kali ini rasanya susah sekali untuk dikembangkan.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku.. menangis?
“E-eh, kenapa menangis?” shania langsung memasang muka kaget dan
khawatir. Entahlah, rasanya aku ingin sekali menangis.
“Tenanglah..” tiba-tiba Shania memelukku.
Tapi, bukannya berhenti menangis aku malah menangis semakin
menjadi. Kenapa denganku, kenapa aku yang jarang menangis jadi cengeng seperti
ini?
“Shania.” aku balas memeluknya.
“Tenanglah, aku akan tetap di sini.” Aku bisa merasakan dia juga
ikut menangis.
“Jangan tinggalkan aku.” Pintaku pada shania.
“Iya, tidak akan.” Shania melepas pelukan kami.
“Shan, boleh aku meminta sesuatu?”
“Ya, boleh.” Aku menghapus bekas air mata di pipinya.
“Tersenyumlah untukku.” Mungkin ini adalah permintaan terakhirku
padanya.
“Ya, aku akan tersenyum untukmu bahkan setiap haripun boleh.”
Diapun tersenyum sangat manis. Maaf Shan sepertinya ini yang terakhir. Malaikat
maut sudah menjemputku, dia sedang tersenyum padaku sekarang, aku tidak bisa
melawan takdir lagi. Aku bahagia kau sudah mau tersenyum padaku selama ini.
“Aku mencintaimu…” aku
membisikkan perasaan tulusku tepat pada telingannya.
“Ya, aku juga mencintaimu..” dia kembali membisikan ucapan itu di
telingaku.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” aku mulai batuk lagi, yang ini lebih parah
dan lebih banyak mengeluarkan darah. Aku melihat shania panik dan
memanggil-manggil dokter.
“Dokter!! Dokter!! Tolong dokter!!” Shania mulai berteriak dengan
liarnya. Tidak, kali ini aku tidak mau kau pergi.
“S-shan..” kugenggam erat tangannya.
“A-aku akan memanggi dokter, bertahanlah!!” dia mulai menangis
kembali.
“Ja… jangan pergi… temani a-aku di sini..” pintaku.
“Ta-tapi..”
“Ku…mohon…”
“Baiklah..” Shania kembali
duduk di sampingku. Aku kembali memeluknya dalam. Tangisannya pun semakin
deras. Akupun tersenyum, menikmati saat-saat terakhirku bersamanya.
Aku menutup mataku perlahan. Tenang… sangat tenang. Rasanya sangat
ringan saat aku memejamkan mataku, dan semuanya pun menjadi putih.
Kau
adalah cahaya bagiku
Senyummu
memberiku harapan terakhir
Senyummu
memberiku kehangatan mentari
Saat
kau tersenyum
Hatiku
hangat terselimuti surya
Kau
adalah aku
Senyummu
adalah senyumku
Takkan
pernah hilang terkikis masa
Terus
terbingkai dalam hatiku
Berikanlah...
Berikanlah
senyummu…
Selamanya…
Tetaplah
menjadi suryaku
Hingga
aku terlahir kembali
Melihat
senyummu kembali
Dan
saat itu… tunggulah aku…
Writer By : @Ibnu_FN